Rabu, 15 Juni 2011

PAPUAPEDIA : Kapak Batu, Mas k a w i n Wajib Suku Sentani

Quote:

Pada suatu petang, kehebohan kecil terjadi di Danau Sentani. Teriakan khas orang Sentani--salah satu suku yang ada di Papua--di atas perahu yang menyanyikan lagu kemenangan menggema. Itu tanda bahwa perburuan yang dilakukan berhasil. Dan yang berhasil menjadi tangkapan mereka adalah seekor buaya yang cukup besar. Binatang yang hidup di dua alam ini berhasil ditangkap di pinggir danau yang terletak sekitar 30 kilometer dari arah barat Kota Jayapura itu

Ondoafie (penguasa) Pulau Asei, Nomansen Ongge, adalah orang yang paling gembira dengan keberhasilan perburuan kali ini. Sebab, sebagai kepala suku, Nomanse Ongge akan memperoleh bagian yang cukup besar dari hasil penjualan kulit dan daging buaya. Maklum, saat itu bapak tiga anak ini sedang membutuhkan duit untuk membeli maskimpoi berupa kapak batu bagi putranya.

Di Sentani, pernikahan bukanlah urusan yang mudah. Dalam prosesnya banyak negosiasi yang harus dilakukan. Tak hanya itu, duit untuk biaya pernikahan, terutama untuk maskimpoi, juga banyak dikeluarkan. Sedikitnya sekitar Rp 5 juta dikeluarkan hanya untuk membeli alat-alat perkimpoian yang mulai langka.
Perlengkapan perkimpoian, seperti kapak batu dan manik-manik sebagai maskimpoi harus ada. Sebab, jika persyaratan tersebut tak dipenuhi, sebuah pernikahan tak akan sah secara adat. Nah, hal ini yang sedang dialami putra Nomensen Ongge. Dia sudah menikah di gereja. Namun, dia belum bisa membawa pulang sang istri. Sebab, dia belum memberikan maskimpoi berupa 10 buah kapak batu dan manik-manik, sesuai permintaan keluarga besan.

Saat ini, keluarga Nomensen telah terkumpul sebanyak sembilan kapak batu. Namun, mereka harus menambah sedikitnya empat kapak batu lagi. Keempat kapak batu itu diperlukan sebagai cadangan kalau-kalau ada beberapa dari sepuluh kapak batu yang ditolak sang besan. Itulah sebabnya, Nomensen dan istri, serta seorang abuahouw (juru taksir kapak batu) sibuk mengunjungi sejumlah tetangga mereka untuk membeli kapak batu. Untungnya, Nomensen punya uang tambahan dari hasil penjualan kulit dan daging buaya. Dengan demikian, ia mampu mengeluarkan duit sebanyak Rp 600 ribu untuk membeli keempat kapak batu itu.

Pulau Asei adalah salah satu pulau yang terletak di tengah Danau Sentani yang termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Cyclops. Danau Sentani yang letaknya tak jauh dari pusat Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua memiliki luas 9.630 hektare. Di danau inilah orang Sentani yang berjumlah sekitar lima ribu jiwa, termasuk yang tinggal di Pulau Asei, mencari makan. Ikan mujair, mas, dan gabus menjadi tangkapan mereka sehari-hari.

Bagi para wisatawan, Pulau Asei yang menjadi wilayah kekuasaan adat Nomensen Ongge dikenal sebagai salah satu desa di Sentani yang masih mempertahankan tradisi pembuatan lukisan kulit kayu kabouw. Di masa lampau, kulit kayu kabouw digunakan sebagai pakaian dan pembungkus mayat. Lukisan-lukisan di atasnya menceritakan soal mitologi kehidupan orang Sentani, nilai-nilai sakral tentang kematian, dan simbol-simbol kelompok kekerabatan atau marga.

Sayangnya, nilai sakral dan sosial kayu ini, kini sudah mulai luntur. Warga di sana sekadar membuat lukisan kayu untuk konsumsi para wisatawan. Namun, ada satu hal yang dari dulu hingga sekarang tak berubah, yaitu fungsi kulit kayu. Kulit kayu ini biasanya digunakan sebagai alas tempat menaruh kapak batu pada perundingan pembayaran maskimpoi. Nah, perundingan pembayaran maskimpoi inilah yang sedang terjadi di kediaman Nomensen.

Sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, Nomensen telah mengabarkan kepada keluarga besan, keluarga Hengki Asabo Pepuhe, untuk merundingkan pembayaran maskimpoi. Sebanyak, 14 kapak batu telah Nomensen siapkan untuk dilihat aboahouw yang dikirim keluarga Hengki.

Dalam tradisi Sentani, abuahouw sebagai juru taksir dan kualitas kapak batu mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan maskimpoi mana yang bisa diterima. Dari sepuluh yang ditaruh Nomensen di atas kulit kayu kabouw, dua kapak batu ditolak. Nomensen kemudian segera menyodorkan penggantinya, hingga akhirnya disetujui abuahouw.

Setelah abuahouw selesai menaksir, lengkap sudahlah jumlah maskimpoi yang telah disepakati. Saat akan mengambil pengantin wanita, keluarga Nomensen harus menyerahkan sebanyak tiga buah kapak batu rela besar dan sepuluh kapak batu mofoli yang ukurannya lebih kecil kepada pihak besan.

Dua hari setelah kesepakatan itu, Nomensen memenuhi janjinya untuk segera membawa menantunya, Agustina, ke rumah. Maka, dikirimlah sepasang utusan untuk menjemput pengantin perempuan di rumah Hengki Pepuhe.

Melalui sebuah manik-manik yang menjadi bukti kepemilikan dari keluarga Ongge, kedua utusan meminta kepada ayah Agustina untuk melepaskan anak perempuannya. Dengan demikian dia bisa diperistri oleh putra Nomensen Ongge.

Saat Agustina akan dilepas, beberapa teman sebaya dan kerabat mengiringinya dengan sebuah lagu ratapan. Lagu yang disenandungkan itu menggambarkan kesedihan atas kepergian seorang teman. Sementara itu, sebuah perahu baru telah disiapkan di depan rumah Hendri Pepuhe. Perahu ini nantinya akan menjadi milik Agustina dan suami sebagai modal hidup mereka dalam berumah tangga.

Agustina akhirnya pergi dengan menggunakan perahu pemberian orang tuanya. Sementara itu, sang suami telah menunggu di seberang danau. Tak lama kemudian, Agustina tiba. Tak ada ritual yang rumit untuk menerima pengantin perempuan. Satu-satunya syarat adalah pengantin dan penyambut harus menggenakan busana dari kulit kayu kabouw.

Setelah acara penyambutan yang singkat dan sederhana itu selesai, Agustina kini resmi menjadi anggota keluarga Ondoafie Nomensen Ongge. Pesta akhirnya ditutup dengan tarian anak-anak muda yang menggambarkan kegembiraan atas pernikahan itu.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants for single moms